Senin, 17 Februari 2014

Bencana Alam dan Peran Bank

                           Bencana Alam dan Peran Bank

A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS,  17 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Pada hari-hari ini, kita diliputi perasaan yang galau nan mendua (mixed
feelings
). Rupiah menguat signifikan menjadi Rp 11.840 per dollar AS pada Jumat (14/2). Ini merupakan respons pasar pada data ekonomi makro kita yang membaik, terutama dari surplus perdagangan pada Desember 2013 (1,52 miliar dollar AS) dan berkurangnya defisit transaksi berjalan dalam setahun terakhir (year on year), dari 32 miliar dollar AS (triwulan III-2013) menjadi 28 miliar dollar AS (akhir tahun 2013).

Membaiknya data perekonomian ini menyebabkan adanya aliran modal masuk yang memperkuat cadangan devisa menjadi 100,6 miliar dollar AS. Hal ini diperkuat lagi dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menahan BI Rate tetap 7,5 persen. Langkah ini mengirimkan sinyal kepada pasar bahwa BI sangat percaya diri pada perkembangan perekonomian terkini. Akibatnya, rupiah pun menguat signifikan.

Namun, pada saat yang sama, kita juga risau oleh bencana alam yang terjadi simultan. Setelah banjir di mana-mana agak surut, giliran Gunung Kelud meletus, menyusul Gunung Sinabung yang sudah meletus. Dampak letusan kedua gunung ini, terutama Gunung Kelud, diyakini cukup besar, khususnya terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bagaimana dampak bencana ini?

Industri perbankan juga baru mulai melaporkan hasil kinerjanya tahun 2013. Meski perekonomian nasional didera oleh berbagai pukulan, seperti inflasi year on year 8,22 persen, kurs rupiah Rp 12.000 per dollar AS, serta kenaikan suku bunga, ternyata perolehan laba bank-bank terus melaju. Bank BRI, seperti biasa, memimpin perolehan laba dengan Rp 21,6 triliun, disusul Bank Mandiri Rp 18,2 triliun. Bank besar lain yang sudah melaporkan labanya adalah Danamon (Rp 4 triliun) dan BTN (Rp 1,56 triliun). Terjadi kenaikan laba 14-17 persen. Mengapa laba masih bisa terus naik?

Saya menduga ada dua alasan pokok. Pertama, industri perbankan sudah dikelola dengan cara yang jauh lebih baik daripada saat terkena krisis tahun 1998. Cara pengelolaannya (corporate governance) sudah menggunakan standar yang terus meningkat, terutama dalam memitigasi risiko. Praktik moral hazard sudah dienyahkan, penyaluran kredit sudah berhati-hati, sehingga saat ini kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) hanya 2 persen. Ini rasio NPL terendah dalam sejarah kita.

Kedua, industri perbankan kita masih menikmati net interest margin (NIM) yang tebal, rata-rata di atas 5 persen. Bahkan, ada bank yang memiliki banyak portofolio UMKM yang besar, NIM-nya sangat tebal, di atas 10 persen. Definisi NIM adalah pengurangan antara pendapatan bunga (interest income) dan bunga yang harus dibayarkan (misalnya bunga deposito), relatif terhadap pendapatan rata-rata yang dihasilkan aset (average earning assets). Semakin tinggi NIM, semakin besar bank memperoleh pendapatan dari pos suku bunga.

BI sejak zaman Gubernur Darmin Nasution berupaya mati-matian menurunkan NIM agar memberikan kelonggaran kepada dunia usaha. Upaya tersebut mulai dijalankan bank-bank, tetapi lambat sekali. Kini, ketika perekonomian sedang tertekan, bank-bank pun mulai berangsur menurunkan NIM-nya. Kerelaan menurunkan NIM, tetapi disertai dengan mendorong pendapatan lain-lain (non-interest income), dan efisiensi, menyebabkan bank-bank tetap dapat mendorong kenaikan laba.

Kerelaan bank menurunkan NIM-nya kini perlu ditambah lagi dengan kerelaan lain untuk membantu UMKM yang didera krisis dampak bencana alam. Sejauh ini belum bisa diestimasi seberapa parah bencana alam Kelud dan Sinabung serta banjir di mana-mana akan berpengaruh terhadap industri perbankan dan perekonomian. Namun, beberapa angka bisa disajikan di sini.

Dewasa ini kredit perbankan mencapai Rp 3.300 triliun, sementara yang termasuk kategori UMKM sekitar Rp 600 triliun atau kurang dari 20 persen. NPL kategori UMKM sekitar Rp 20 triliun atau 3,3 persen. Kalau dari geografis, secara visual dapat diestimasi potensi terjadinya masalah dalam kredit UMKM bisa 30-40 persen dari seluruh kredit UMKM nasional. Jadi, akan muncul potensi kredit macet UMKM dari Rp 20 triliun menjadi Rp 25 triliun-Rp 28 triliun. Tambahan NPL Rp 8 triliun rasanya belum sampai mengganggu kinerja industri perbankan. Jauh sebelum bencana, sebenarnya sudah diramalkan terjadi kenaikan NPL dari saat ini 2 persen menjadi 3 atau 4 persen akhir 2014. Jika ini terjadi, masih dalam batas toleransi di bawah 5 persen, sebagaimana best practice selama ini.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah dan industri perbankan? Dalam kasus gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006, BI dan bank-bank BUMN cabang Yogyakarta berupaya melakukan hapus tagih (hair cut) terhadap kredit-kredit UMKM yang gagal bayar karena bencana alam. Karena bank-bank BUMN belum berani langsung mengeksekusinya, mereka pun minta persetujuan DPR. Persetujuan tidak cukup dari Menteri BUMN sebagai kuasa usaha pemerintah ataupun Menteri Keuangan sebagai pemegang saham mewakili pemerintah.

Bank-bank BUMN memang menghadapi dilema dalam hal mengeksekusi hapus tagih. Di satu pihak, sebenarnya ini merupakan aksi korporasi biasa yang sudah lazim dilakukan bank swasta. Namun, pada BUMN, karena status ”milik negara”, timbullah ambiguitas. Milik ”negara” itu milik siapa? Apakah milik pemerintah, rakyat, atau DPR? Jika direksi bank BUMN nekat melakukan hapus tagih, bisa jadi tindakannya diinterpretasikan sebagai ”berpotensi merugikan keuangan negara”. Karena itu, bank BUMN sampai harus minta izin kepada DPR meski sebenarnya cukup diputuskan Menteri BUMN dan Menteri Keuangan sebagai pemegang saham BUMN.

Dari pengalaman itu, hapus tagih kasus UMKM di Yogyakarta yang ”hanya” Rp 9,4 miliar, tetapi perlu hampir tujuh tahun untuk mendapat izin, perlu dipikirkan upaya mempercepat prosesnya. Mulai sekarang, bank-bank BUMN dan swasta harus mulai mendata, kredit apa dan siapa saja yang terkena bencana alam ini. Harus bisa dibedakan, mana yang benar-benar terkena bencana dan mana yang usahanya memang sudah bermasalah sebelum bencana.

Jika sudah diperoleh bukti kuat bahwa nasabah UMKM terkena dampak bencana, akan ditawarkan berbagai opsi. Opsi itu bisa berupa keringanan jangka waktu membayar, bahkan penghapusan bunga, hingga pengurangan utang pokok (prinsipal)-nya. Semua ada klasifikasi dan tahapan yang jelas. Di bank-bank swasta, biasanya hal ini sudah diatur lebih mudah karena izin dari pemilik bank lebih sederhana prosesnya. Adapun pada kasus bank BUMN, harus diupayakan proses yang lebih cepat agar tidak mengulang proses panjang, seperti pada kasus gempa di Yogyakarta tahun 2006. Mustahil kita tak bisa belajar dari pengalaman itu. Birokrasi panjang di DPR harus dipangkas, ini kuncinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar