Senin, 17 Februari 2014

Serentak pun, Konstitusional

                      Serentak pun, Konstitusional

L Tri Setyawanta R  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  17 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
MENJELANG Pileg dan Pilpres 2014, badai politik spontan berembus dari yang mulia para hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga penjaga konstitusi itu mengabulkan gugatan agar pemilu dilaksanakan berjamaah (serentak), antara pileg dan pilpres meski untuk 2019.

Penundaan sampai tahun itu pun menimbulkan polemik tersendiri terkait legalitas Pilpres 2014. Sejak putusan itu dibacakan pada 23 Januari lalu, pro-kontra terus bergulir dan tampaknya sulit untuk bertemu di satu titik terang.

Satu hal yang pasti keputusan MK adalah pertama dan terakhir serta mengikat karena tidak dimungkinkan ada upaya hukum lain. Beberapa pasal dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terdegradasi, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebenarnya hanya satu pasal kunci dalam kaitannya dengan pemilu serentak, yaitu Pasal 3 Ayat (5). Pilpres dilaksanakan terpisah, setelah pelaksanaan pileg. Oleh penggugat, itu dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22 E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, dan diamini MK.

Pasal 22E Ayat (1) menyebutkan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tiap lima tahun. Pasal-pasal lain andai tidak digugat pun mandul dengan sendirinya hanya dengan membatalkan pasal kunci tersebut. Pasal lain tersebut, yaitu Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008.

Gugatan penggugat yang dikabulkan MK dalam menafsirkan Pasal 22 E Ayat (1) adalah bahwa dalam 5 tahun hanya boleh ada satu kali pemilu, tidak boleh dua kali. Berarti pemilu harus dilakukan secara bersamaan (pileg dan pilpres). Penafsiran gramatikal secara tekstual dari kalimat,’’ ...tiap 5 tahun sekaliî secara logika memang bisa diterima.

Hanya masih dimungkinkan penafsiran lain lebih pas secara logika dan rasa bahasa. Dalam KBBI, kata ‘’sekali’’ mempunyai beberapa makna. Mengacu Pasal 22 E Ayat (2) UUD 1945, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres, serta anggota DPRD.

Dari ayat ini bahkan dimungkinkan pemilu bisa dilaksanakan sampai maksimal 4 kali dalam 5 tahun, sesuai dengan jumlah objek yang akan dipilih. Perlu anggaran besar kalau masingmasing dipilih melalui pemilu tersendiri dalam siklus 5 tahunan itu.
Praktiknya, Pemilu 2004 dan 2009 serta 2014?, hanya disepakati eksistensi pileg (DPR, DPD dan DPRD) dan pilpres. Tiap periode 5 tahunan, Indonesia melaksanakan dua kali pemilu dengan objek pemilihan berbeda.

Apabila disepakati kembali rule of the game yang baru dengan hanya satu kali pemilu untuk semua objek yang akan dipilih, itu pun masih sejalan dengan UUD 1945. Secara konstitusional, masingmasing objek pemilihan hanya dipilih melalui pemilu dalam periode atau siklus 5 tahunan, sesuai dengan masa jabatan. Kontroversi penafsiran ini sebenarnya tercermin dari pendapat berbeda (dissenting opinion) salah seorang hakim MK.

Solusi Mengambang

Penyelenggaraan pileg dan pilpres serentak atau tidak serentak, bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Penafsiran kontroversial ini tenggelam dengan sendirinya karena kalah dalam hitungan jumlah suara, meski mengandung kebenaran lebih hakiki.

Dilogikakan dan dirasabahasakan secara keindonesiaan, akan berbeda artinya jika kata ‘’sekali’’ diletakkan di depan sehingga konstruksi kalimatnya menjadi,’’ ....sekali setiap lima tahunî . Kata ‘’sekali’’ sebagai angka bilangan akan menunjukkan frekuensi pemilu yang harus terselenggara hanya sekali dalam siklus 5 tahun secara periodik. Karena itu, rule of the game-nya pun, mau tidak mau diatur pileg dan pilpres harus secara serentak.

Bandingkan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945 yang serupa konstruksi kalimatnya. Misal Pasal 2 Ayat (2), “MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun...’’ Putusan MK sudah dibacakan meski menyisakan misteri administratif yang membuka ruang untuk didebat banyak pihak.

Andaikan gugatan itu ditolak keseluruhannya atau diputuskan dan dibacakan setelah Pemilu 2014 tentu tidak menimbulkan polemik bak adai politik. Semua pihak, terutama rakyat kebanyakan tentu menanti solusi konkret terhadap dampak putusan MK.
Masalah hukum tidak bisa dianggap selesai dengan kemenangan mayoritas opini publik meski diyakini kebenarannya. Solusi masih bisa dinanti dari putusan MK terhadap gugatan dengan materi yang hakikatnya serupa. Andai dalam putusannya nanti MK menyerahkan pemilu secara serentak dalam rule of the game sebagai kebijakan pembuat UU, permasalahan akan selesai.

Bukankah lex posterior derogat legi priori, hukum yang ada kemudian akan mengalahkan hukum yang telah ada yang mengatur hal yang sama, masih menjadi adagium hukum yang kita anut? Kita hanya bisa menanti dalam ketidakpastian. Suatu kecenderungan baru yang sebenarnya bertentangan dengan salah satu sifat dari aturan hukum, yaitu harus ada kepastian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar