Sabtu, 08 Februari 2014

Ulang Tahun Perkawinan

Ulang Tahun Perkawinan

R Valentina Sagala   ;   Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN,  08 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Perkawinan sepertinya topik yang tak pernah membosankan dibahas.”
Bagi yang telah memasuki kehidupan perkawinan, mungkin sependapat bahwa hari perkawinan adalah hari yang membahagiakan. Tanpa terasa hidup menghadiahi ulang tahun perkawinan pertama, kedua, dan seterusnya.

Minggu, 9 Februari ini, saya dan suami merayakan ulang tahun perkawinan kami. Hal utama yang kami lakukan di hari bahagia ini adalah berdoa bersama, memanjatkan rasa syukur pada Tuhan atas kasih dan berkat yang melimpah dalam perkawinan kami. Sebagai ungkapan syukur, kami pun berbagi kasih pada sesama yang membutuhkan pertolongan.

Tahun ini menjadi unik karena kami merayakan ulang tahun perkawinan di tengah persiapan perkawinan adik laki-laki saya, beberapa bulan lagi. Sebagai kakak tertua, saya dan suami terlibat beragam pertemuan dan kegiatan yang diikuti anggota keluarga besar.

Bukan hanya bagi pasangan yang hendak kawin, bagi kami yang sudah berstatus kawin pun, perkawinan sepertinya topik yang tak pernah membosankan dibahas.
Diam-diam, saya dan suami mengamati pasangan suami istri yang hadir di sekeliling kami. Bohong kalau dikatakan tak pernah ada masalah yang dihadapi pasangan dalam perkawinan. Perbedaan pendapat atau kebiasaan antara suami dan istri adalah hal yang wajar terjadi.

Akan tetapi lihatlah, ayah dan ibu yang menua, namun tetap bisa menikmati hari dengan senyum dan tawa. Paman dan bibi yang telah puluhan tahun menjalani perkawinan, terjaga kemesraannya, meski tengah menghadapi kesulitan.
Kehangatan serupa juga saya alami saat bersama keluarga besar suami tercinta. Meski mengenal mendiang mertua lewat foto-foto dan cerita suami pada saya sebelum kami menikah, nilai-nilai menjalani bahagianya perkawinan dapat saya rasakan dalam keseharian keluarga ipar-ipar saya.

Dalam suasana seperti ini, saya dan suami terkenang saat menerima peneguhan dan pemberkatan perkawinan di gereja dulu. Sebelum masuk pada tahap kami berjanji satu kepada yang lain, pendeta terlebih dulu menjelaskan makna dan tujuan perkawinan kristiani. Barulah kemudian kami dipersilakan mengucapkan janji satu sama lain.

Orang sering mengatakan, janji adalah utang. Sekarang saya sadar alasan sejak kecil saya dibiasakan tidak main-main soal janji. Kata ayah saya, kehormatan dan harga diri seseorang bukan dilihat dari harta atau prestasi yang melekat padanya, melainkan pada cara ia memaknai janji.

Ayah mencontohkan dalam perilakunya sehari-hari. Ia tak pernah main-main soal janji. Jika sudah berjanji, ia merawat dan berupaya seoptimal mungkin menepatinya.
Perkara berjanji sangatlah penting. Tidak hanya dalam perkawinan, tapi dalam semua aspek kehidupan. Kita mungkin ingat sudah terlalu sering rakyat dikhianati janji-janji gombal orang-orang yang tengah mengincar kursi kekuasaan.

Mereka mudah berjanji, mudah pula mengingkari. Apa yang bisa dihormati dari seorang yang mengkhianati janji yang terucap dari mulutnya? Kualitas pribadi macam apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang gemar mengumbar janji tanpa niat menepatinya?

Janji merupakan unsur esensial dalam perkawinan. Tanpa janji, perkawinan yang sesungguhnya tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, perjalanan perkawinan sebenarnya adalah perjalanan merawat dan menepati janji.

Dalam perenungan saya dan suami, kami bersyukur telah dididik dan dibiasakan tidak main-main soal janji. Masing-masing dari kami mengingat kembali janji yang diucapkan di hari bahagia perkawinan kami.

Begini bunyi janji saya pada suami tercinta, “Tri Sukma Anreianno Djandam, di hadapan Allah dan jemaat-Nya, aku mengaku dan menyatakan, menerima dan mengambilmu sebagai suamiku. Sebagai istri yang beriman, aku berjanji akan memelihara hidup kudus denganmu dan tetap mengasihimu pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, dan tetap merawatmu dengan setia sampai kematian memisahkan kita.”

Janji serupa juga diucapkan suami kepada saya di hari itu. Tak ada janji tentang harta melimpah, ketenaran, atau hari-hari tanpa masalah. Janji suami pada saya yang paling utama adalah cinta kasih dan kesetiaannya pada saya. Demikian pula janji saya padanya.

Bagi saya, janji perkawinan ini adalah janji kemanusiaan untuk bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik. Kata suami saya, merawat dan menepati janji tersebut adalah kemestian yang membahagiakan. Saya jelas mengamini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar