Rabu, 19 Februari 2014

Penanganan Aset dan Harta Kekayaan

Penanganan Aset dan Harta Kekayaan

R Widyopramono  ;   Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus) Kejakgung
SUARA MERDEKA,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
SALAH satu instrumen internasional yang menjadi tonggak penting dan banyak memengaruhi praktik penegakan hukum, terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi, yaitu United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003. Resolusi PBB Nomor 58/4 tanggal 13 Oktober 2003 tentang Konvensi PBB mengenai antikorupsi tersebut, telah diteken oleh sedikitnya 116 negara dan banyak negara meratifikasi

Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat beradab dunia, pada 18 April 2006 telah meratifikasi UNCAC 2003, melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai negara pihak (states parties) maka kita pun wajib mengadopsi ketentuan dalam UNCAC 2003, termasuk mengimplementasikan dalam penegakan hukum.

Dalam tataran teoritik, ketentuan Pasal 54 Ayat (1) UNCAC 2003 yang mengatur tentang perampasan aset/harta kekayaan tanpa suatu putusan pidana dengan alasan tersangka/terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak dapat dihadirkan karena berbagai sebab, sesungguhnya berpijak dari doktrin Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau biasa dikenal dengan civil forfeiture.

Doktrin NCB yang berkembang dalam common law system, menungkinkan negara memperoleh aset yang berasal dari hasil kejahatan melalui mekanisme gugatan. Doktrin hukum NCB dan amanat Pasal 54 Ayat (1) Huruf c itulah, yang jadi pijakan teoritik dan normatif pengundangan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain.

Menjawab Kebutuhan

Di sisi lain, Perma Nomor 1 Tahun 2013 merupakan jawaban terhadap kebutuhan hukum, khususnya berkait penanganan perkara tipikor atau tindak pidana lain. Kelahiran Perma itu dilatarbelakangi kekosongan hukum acara untuk pelaksanaan Pasal 67 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Di sisi lain, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) banyak mendapatkan laporan rekening tak bertuan dengan jumlah nominal sangat besar, dari luar negeri. Sebagai tindak lanjutnya, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Surat edaran untuk ketua Pengadilan Negeri itu antara lain menegaskan syarat pengajuan permohonan penanganan harta kekayaan berikut kelengkapannya. Hal yang terpenting dari edaran itu adalah terkait putusan hakim yang menyatakan aset/harta kekayaan yang dimohonkan sebagai aset negara harus dinyatakan dirampas untuk negara.

Setidak-tidaknya ada tiga hal pokok yang menarik dari substansi Perma Nomor 1 Tahun 2013. Ketiganya merupakan hal yang relatif baru, baik dari tataran teoritis maupun praktik penegakan hukum pidana.

Pertama; permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan penyidik.Tata cara pengajuan permohonan penentuan status harta kekayaan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2013, hampir sama dengan acara pemeriksaan singkat dalam perkara tindak pidana ringan (tipiring).

Persamaan itu terletak pada kewenangan penyidik, yang dapat langsung mengajukan ke persidangan tanpa melalui penuntut umum. Hanya dalam perkara tipiring, pengajuan berita acara pemeriksaan ke pengadilan diajukan penyidik atas kuasa penuntut umum. Adapun permohonan penanganan harta kekayaan yang dilakukan penyidik cukup memberitahukan ke Jaksa sebagaimana layaknya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).

Perbedaan lainnya terletak pada tidak adanya tersangka atau terdakwa dalam permohonan penanganan harta kekayaan, sementara dalam perkara tipiring yang diajukan penyidik ke siding pengadilan meliputi terdakwa beserta barang bukti, saksi ahli, dan juru bahasa. Tidak adanya tersangka atau terdakwa itulah, yang menjadi alasan pokok diajukannya permohonan penanganan harta kekayaan sehingga penyidik harus melengkapinya berita acara pencarian tersangka, berkas perkara hasil penyidikan dan berita acara penghentian sementara seluruh atau sebagian transaksi atas permintaan PPATK.

Kedua, perampasan aset tanpa tuntutan pidana. Selama ini, dalam praktik penegakan dan penuntutan perkara pidana dan penentuan status aset/harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan dilakukan sesudah atau bersamaan dengan pembuktian kesalahan atau penghukuman. Adapun Perma Nomor 1 Tahun 2013 fokus pada pemeriksaan aset/harta kekayaan, termasuk memutuskan statusnya apakah dirampas sebagai aset negara ataukah dikembalikan kepada yang berhak.

Ketiga; efektivitas proses penentuan aset/harta kekayaan. Pasal 7 Perma itu mengadopsi ketentuan Pasal 86 KUHAP. Termasuk memberikan ruang terhadap pimpinan instansi penyidik untuk mengusulkan tempat sidang, ketika karena alasan tertentu tidak memungkinkan memeriksa suatu permohonan harta kekayaan. Perma tersebut memberikan hak keleluasaan kepada penyidik untuk menentukan pengadilan negeri tertentu, ketika harta kekayaan berada di wilayah hukum beberapa pengadilan. 

Ketentuan Pasal 5 Perma itu, selain berbeda dari ketentuan Pasal 84 KUHAP, juga telah memberikan terobosan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan harta kekayaan sesuai dengan asas KUHAP.

Memahami substansi Perma Nomor 1 Tahun 2013 berikut latar belakang yang meliputi kelahirannya maka penegakan hukum pidana senantiasa berkembang sesuai dengan pemikiran dan dinamika praktik hukum di bebagai belahan dunia. Substansi hukum berasal dari dinamika pemikiran tersebut merupakan salah satu kebutuhan hukum, yang keberadaannya tidak dapat dihindarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar