Rabu, 19 Februari 2014

Sampah, Abu Erupsi, dan Entrepreneurial

Sampah, Abu Erupsi, dan Entrepreneurial

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO,  20 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Ditemani secangkir kopi yang mengepul, saya membuka Twitter. Seorang teman mem-posting pesan ini, ”Jalan Cililitan ke arah Cawang macet. Ada truk sampah mogok. ” Aha, lagi-lagi sampah jadi masalah. Kali ini bukan sampahnya, tetapi truknya, sama seperti Bus Transjakarta yang semakin sering mogok belakangan ini. 

Soal truk mogok tadi tentu menambah daftar masalah yang membuat pening: mau dibuang ke mana 6.500 ton sampah yang setiap hari dihasilkan warga DKI? Kepada saya, Ahok pernah mengungkapkan kekesalannya, “TPA di Bekasi itu tanah DKI, tapi setiap kali buang, pemda harus bayar.” Pantaslah Wagub berang, lawannya bukan warga biasa, tetapi mafia yang bertameng warga. Kalau Anda jadi pengembang permukiman, Anda pasti paham, setiap kali mau membangun, selalu saja ada ribuan penghuni baru yang tiba-tiba datang dalam semalam, lengkap dengan pembuat rumah bedengnya. 

Anda barangkali sulit membayangkan berapa banyak 6.500 ton sampah itu. Supaya mudah, bayangkan saja sebuah lapangan sepak bola. Nah, volume sampah di DKI yang tidak dicacah sebelum dikirim ke TPA itu setiap harinya setara dengan empat kali lapangan sepak bola, tingginya sekitar satu meter. Atau kalau Anda pernah ke Candi Borobudur, volume sampah warga DKI per hari adalah setengah dari ukuran candi tersebut. Dalam lima tahun ke depan diperkirakan volumenya akan menjadi 8.000 ton per hari dan semakin hari semakin banyak sampah nonorganiknya. 

Selama ini Pemprov DKI selalu membuang sampahnya ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantargebang, Bekasi. Untuk mengangkut, Jakarta membutuhkan sekitar 700 truk. Celakanya, sampai saat ini truk yang layak operasi baru 104 unit. Jadi masih kurang hampir 600 unit. Untuk mengatasinya, Pemprov DKI mau membeli truk-truk, tapi konon anggarannya dianulir aparat sendiri. Untung ada swasta yang peduli, DKI dihibahi dana CSR buat beli truk. Tapi, itu belum menyelesaikan masalah. 

Masih kurang. Selain sering mogok, kemacetan gila membuat truk tidak bisa beroperasi bolak-balik seperti dulu. Akibatnya sampah busuk menumpuk. Saya hitung, dengan cara seperti ini, kalau warga maunya sampah diangkut dari rumah masing-masing, bukan buang didumpsterseperti di luar negeri, paling hanya satu RT yang bisa diangkut dalam sehari. Apa yang mesti dilakukan para gubernur atau wali kota? 

Entrepreneurial Government 

Seingat saya, negeri ini sudah punya Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. PP ini adalah peraturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Intinya sampah harus diolah, tidak boleh lagi dibuang begitu saja. Nahkalau UU dan PP itu mau dijalankan, sebenarnya pemerintah daerah tak perlu bekerja sendiri. Pemkot tinggal pencet tombol kewirausahaan warga yang dibingkai dalam entrepreneurial government. 

Seperti apa itu? Ada banyak ciri, tapi saya ingin menekankan empat hal. Pertama, pemerintahan melakukan perubahan dengan change management, bukan asal perubahan. Artinya perubahan itu dikelola, diaspirasikan, dievaluasi, warganya dibuat melek, lalu ikut dengan sendirinya. Ada agen-agen perubahan yang dijadikan role model dan mereka secara sukarela menularkan virus perubahan karena melihat benefitnya lebih besar daripada biayanya. Kedua, pemerintah melihat setiap masalah adalah peluang. 

Di DKI Jakarta, sekarang warganya betul-betul merasa terganggu dengan tumpukan sampah di kawasan huniannya. Ini sebetulnya bisa menjadi momentum yang ampuh untuk mengajak warganya terlibat dalam pengelolaan sampah. Misalnya, dengan mulai memilah mana sampah basah dan mana sampah kering dan menempatkannya dalam kantong-kantong plastik yang terpisah. Dalam kondisi biasa, saya sudah mencoba berkali-kali dan tahukah Anda, sulitnya minta ampun. 

Kini, semua warga sudah merasa sangat terganggu dan kalau yang mengajak tokoh seperti Jokowi dan Ahok, ajakan ikut terlibat dalam pengelolaan sampah mungkin tak sesulit dulu lagi. Semua sama-sama melihat dan merasakan bahwa masalahnya ada di depan mata mereka. Ketiga, pemerintahan yang menawarkan solusi. Di Bandung, untuk mengatasi masalah sampah, dibangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di kawasan Gedebage. Dari 500–700 ton sampah, saya dengar bisa dihasilkan listrik setara 7 megawatt. 

Lalu, abu hasil bakaran sampah pun masih bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan batu bata. Memang PLTSa Gedebage masih menyisakan beberapa masalah. Misalnya polusi karena cerobong asapnya hanya setinggi 35 meter dan menghadap ke permukiman warga. Singapura juga memiliki fasilitas serupa, hanya saja cerobong asapnya mencapai 70 meter dan terarah ke laut. Jadi, relatif tidak mengganggu. Rasanya Pemprov DKI bisa meniru PLTSa ala Singapura dengan mengarahkan cerobongnya ke laut. 

Ciri entrepreneurial government yang keempat adalah dalam menyelesaikan setiap permasalahan, mereka selaku berkolaborasi dengan banyak entrepreneur lokal. Bukan menanganinya sendirian. Ini artinya pemprov atau pemkot bisa mencetak banyak wirausaha sampah. Bisnis sampah itu rumit karena sering diganggu aparat dan warga sendiri yang mata duitan. Izinnya selalu dipertanyakan, demikian juga warga yang pura-pura terganggu oleh baunya. Padahal sekarang ada banyak cara mengusir bau asalkan sampahnya diolah di tempat dan langsung diolah pada hari yang sama. 

Bayangkan sampah-sampah itu bisa dibuat lebih ringkas karena dicacah. Komposnya bisa dikomersialkan, lalu plastiknya bisa dikembalikan jadi minyak bakar dan bahan-bahan recycle-nya banyak sekali. Biomassanya pun bisa dijadikan pendamping batubara untuk pabrik-pabrik tertentu, mulai dari pabrik semen sampai lio-lio pembuat batu bata. Kelak, kalau daerah-daerah bisa dipaksa untuk mengirim bahan-bahan pangan yang sudah diolah dan dibersihkan di daerah keberangkatan sebelum masuk ke DKI, bahan-bahan anorganik akan semakin banyak dan itu ada nilai ekonomisnya. 

Abu Gunung Kelud 

Kamis, 13 Februari 2014 pukul 22.50 WIB, Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur, meletus. Letusan itu memicu terjadinya hujan abu, pasir, dan kerikil. Abu Gunung Kelud bahkan dibawa angin ke arah barat, menyebar sampai Solo, Yogyakarta, dan bahkan sebagian wilayah di Jawa Barat. Beberapa hari pascaletusan, kita semua menyaksikan betapa sibuknya warga membersihkan abu dari rumah dan dari jalan-jalan. Saya miris menyaksikan mereka menyemprot abu itu dan mengalirkannya melalui selokan-selokan. 

Abu itu larut begitu saja bersama air lalu menjadi sedimen yang mendangkalkan sungai. Padahal, abu vulkanik tersebut mempunyai manfaat meningkatkan kesuburan tanah. Jika dikombinasi dengan pupuk organik, abu vulkanik tersebut bisa menjadi pupuk yang kaya mineral. Abu vulkanik biasanya juga kaya silika sehingga sangat baik dijadikan bahan baku beton atau campuran bahan bangunan lainnya. Kita pernah mengalami letusan Gunung Galunggung. Anda tahu, ketika itu pasir dari Gunung Galunggung laku dijual seharga Rp 900.000 per truk. 

Padahal, pasir biasa yang berkualitas bagus pun hanya laku dijual Rp500.000 per truk. Kalau saja pemerintah-pemerintah kita memiliki karakter entrepreneurship, mereka akan lebih gesit mengajak warganya melihat peluang dari musibah erupsi. Itu bisa kalau pemerintahnya begitu dan media TV tidak lagi mendendangkan ratapan kesedihan dengan mempertanyakan bantuan melulu. Bukankah selalu ada hikmah di balik musibah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar