Senin, 17 Februari 2014

Gubernur Jenderal Papua, untuk Apa?

                  Gubernur Jenderal Papua, untuk Apa?

Jimmy Demianus Ijie  ;   Politikus PDI Perjuagan, 
Ikut membahas draf RUU Otonomi Khusus Papua
SINAR HARAPAN,  17 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Setahun yang lalu, sekitar akhir April 2013, Gubernur Papua Lukas Enembe melontarkan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan Otonomi Khusus (Otsus) Plus bagi Tanah Papua.
Wacana yang muncul mendadak ini serta merta mengundang berbagai komentar, baik yang optimistis maupun pesimistis. Namun, sebelum itu, praktis tidak ada ide untuk merancang Otsus Plus. Aspirasi yang ada justru berkenaan dengan keinginan merevisi beberapa materi dalam UU Otsus Papua, termasuk aspirasi agar semua pihak berkomitmen dan konsisten melaksanakan UU Otsus Papua.
Untuk itu, ide Otsus Plus yang muncul sejujurnya mengundang tanya, apalagi yang akan diberikan kepada Tanah Papua. Itu karena materi dalam UU Otsus Papua saja belum secara konsisten dilakukan, meski beberapa ketentuan sudah dilakukan semisal anggaran untuk Tanah Papua. Seiring dengan wacana itu, pihak Papua kemudian menyiapkan draft RUU Otsus Papua Plus. Kini, draf itu sedang dibahas bersama Papua Barat karena Papua Barat praktis tidak terlalu terlibat sejak awal.
Untuk menjaga kebersamaan dan sebagai rasa saling hormat, Papua Barat merespons draf itu secara positif. Namun, tentu ada beberapa rumusan yang patut didalami dan dikaji lagi, sehingga ketika menjadi UU, benar-benar mampu mendorong kemajuan dan kesejahteraan di Tanah Papua dan menjadikan Tanah Papua damai dan layak bagi semua.
Setelah mengikuti beberapa kali pembahasan, setidaknya ada empat materi yang layak dikaji, didalami, dan dipikirkan kembali, sehingga justru dalam penerapan UU itu nantinya tidak membawa masalah baru di Tanah Papua, atau dalam hidup berbangsa dan bernegara di republik yang kita cintai ini, yakni ide gubernur jenderal, defenisi orang Papua asli, satu MRP untuk tanah Papua, serta pemilihan pasangan gubernur oleh DPRP. Namun, dalam kesempatan ini, penulis khusus menyoroti ide gubernur jenderal dan defenisi orang asli Papua.
Ide Gubernur Jenderal
Dalam salah satu draf rumusan RUU Otsus Plus, ada keinginan untuk membentuk gubernur jenderal di Tanah Papua. Artinya, Gubernur Jenderal membawahi seluruh Tanah Papua, termasuk dua gubernur yang ada saat ini, Papua dan Papua Barat. Ide ini muncul dari pihak Papua (Gubernur Barnabas Suebu ketika itu) “Pertemuan Biak” pada 2007 yang dihadiri pihak Provinsi Papua dan Papua Barat.
Penulis ketika itu secara tegas menolak ide tersebut karena tidak memiliki sejarah dan membayangkan untuk menemukan posisi gubernur jenderal dalam konstruksi bangunan ketatanegaraan Indonesia. Pertama, tidak jelas benar motivasi keberadaan gubernur jenderal. Kedua, kita tidak menemukan referensi yang tepat dalam sejarah Indonesia, selain pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk itu, setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya rumusan gubernur jenderal dihapus dari draf RUU, menjadi rumusan mengenai alokasi satu menteri atau pejabat setingkat menteri, yang khusus menangani masalah Papua.
Usulan ini pun masih harus dikaji lagi karena berkaitan dengan hak prerogatif presiden. Tapi, tidak ada salahnya pejabat itu tetap diangkat presiden, dengan mempertimbangkan beberapa calon yang diajukan para gubernur di Papua kepada presiden atas saran dan pertimbangan dari Dewan Adat, MRP, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Papua di tingkat provinsi.
Siapa Orang Papua?
Isu kedua yang layak mendapat perhatian serius berkaitan dengan pengertian orang Papua asli dan orang Papua. Dalam draf itu hanya dikedepankan pengertian orang Papua asli. Pengertian ini sangat penting karena berkaitan dengan berbagai kebijakan afirmasi yang diperoleh orang asli Papua. Dengan draf RUU ini, praktis semua jabatan strategis dipegang orang asli Papua.
Lantas, bagaimana dengan orang Papua? Anak bangsa yang juga lahir dan besar di Tanah Papua, tapi tidak memiliki darah Melanesia atau memiliki darah Melanesia karena dilahirkan dari hasil perkawinan ibu asli Papua tetapi ayah bukan asli Papua karena masyarakat adat Papua menganut patrilineal.
Untuk itu, penulis memandang sangat penting memasukkan pengakuan bagi orang Papua, mereka yang datang dan menetap di Papua sebagai orang Papua. Tidak bisa dibayangkan bagaimana Papua tanpa peranan dari anak Maluku, Manado, Sangir, Timor, Jawa, dan sebagainya.
Sebagai contoh kecil, semua guru pada masa lalu datang dari wilayah-wilayah ini. Mereka beranak pinak di Papua, tapi kita mengabaikan begitu saja atau meniadakan begitu saja. Padahal, kita bisa mendapat pendidikan dan cerdas menyusun UU karena peran guru, pendeta, guru jemaat maupun ulama yang merantau ke Papua.
Orang Papua tidak boleh selamanya hidup dalam dendam. Orang Papua harus bangkit untuk optimistis menatap masa depan. Sikap optimistis ini hanya bisa muncul ketika kita bisa berdamai dengan sejarah.
Kita semua harus berhenti melampiaskan dendam, duduk bersama dengan kepala dingin untuk menyiapkan UU yang sangat dibutuhkan bagi generasi Papua di masa depan. Mari kita melihat jauh dan bicara sambil melihat masa depan anak dan cucu kita.
Ketika kita mengabaikan saudara-saudara kita, jangan kaget atau heran ketika saudara suku Nusantara itu hanya menjadikan Papua untuk tempat mencari rezeki semata, baik harta maupun jabatan, karena kita mengingkari mereka.
Kita ingin menghapus cinta mereka terhadap Papua. Sangat tidak arif dan tidak bijak untuk mengabaikan begitu saja orang yang sudah beranak cucu di Papua. Kalaupun pulang, mereka akan menjadi orang asing di tanah leluhur. Papua sudah menjadi kampung halaman. Sekali lagi ruang untuk orang asli Papua penting, tapi juga tidak boleh meniadakan begitu saja ruang bagi orang Papua.
Pengertian Orang Papua lebih pada perspektif demografis semata, sementara pengertian orang asli Papua mencakup dimensi yang luas baik demografis, sosiologis, antropologis, yuridis maupun politis, sebagai konsekuensi dari diskriminasi positif yang diberikan negara kepada rakyat Papua asli sebagai bentuk rekonsiliasi yang permanen antara Papua dan Jakarta yang diharapkan semua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar