Minggu, 09 Februari 2014

Pelayan Publik Bergaya Entrepreneur

Pelayan Publik Bergaya Entrepreneur

Khairul Rizal   ;  Ketua I Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI)
MEDIA INDONESIA,  08 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
ISTILAH entrepreneurial government/EG) merupakan istilah yang mungkin belum populer di negeri ini. Padahal di Indonesia EG pernah diperkenalkan dan diterapkan dengan istilah entrepreneurial public service/EPS) atau pelayanan publik bergaya kewirausahaan.

EG atau EPS sebetulnya bukanlah barang baru. Secara teori, hal itu diajarkan di sekolah administrasi publik paling terkenal di dunia, Harvard University. Adalah Fadel Muhammad, ketika menjadi Gubernur Gorontalo dan Menteri Perikanan dan Kelautan, yang menerapkan EG/ EPS ini dalam institusinya.

Pada praktik EG, seorang kepa la daerah berperan layaknya seorang CEO (chief executive officer) di perusahaan yang mengendalikan daerah dengan pola berpikir kewirausahaan. Semua sumber yang ada baik dari sumber daya alam (SDA)/infrastuktur, sumber daya manusia (SDM), dan sistem pemerin tahan dikelola untuk mencapai keuntungan bagi pemegang saham (share holder).

Pada korporasi, keuntungan akan berupa profit dan pembagian dividen ke pemegang saham, sedangkan dalam konteks EG dividennya ialah peningkatan kepuasan dan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut. Hal itu dapat terlihat dari indikator meningkatnya pendapatan asli daerah (PAD), berkurangnya orang miskin, meningkatnya kesejahteraan pegawai yang menjalankan roda pemerintahan, yang otomatis berdampak pada kurangnya tingkat korupsi di daerah tersebut.

Seorang kepala daerah ditantang untuk dapat mengidentifikasi kekuatan (strenght) dan peluang di daerahnya. Peluang ini dapat berupa potensi SDA (di bawah permukaan bumi, lahan pertanian yang subur, pariwisata, perikanan, dan kelautan), atau letak yang strategis sebagai logistik (trade hub). Singapura menjadi contoh sebagai salah satu negara yang dapat memanfaatkan lokasi/letaknya sebagai kota trade and logistic hub sangat sukses.

Singapura menjadi kota atau negara maju yang mampu memberikan dividen berupa kepuasan dan kesejahterakan kepada rakyatnya. Dalam mewujudkan ini para kepala daerah untuk inisiasi dapat mengundang para ahli, konsultan, atau wiraswastawan sukses sebagai partner atau bagian dari tim implementasi.

Mengubah mindset

Anggaran berbasis kinerja (ABK) merupakan salah satu produk reformasi birokrasi. Pada ABK, kinerja (outcome) dari sebuah program kerja dan output dari sebuah kegiatan menjadi dasar utama pengeluaran anggaran. Dalam konteks mewujudkan EG diperlukan strategi mengelola ABK ini dengan lebih fokus dan terukur.

Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) harus didesain sedemikian rupa untuk mencapai target daerah yang jelas dan tajam. Target daerah misalnya menaikkan produksi beras dari 3 ton/hektare menjadi 6 ton/hektare, mencapai 1 juta ton produksi jagung/tahun, meningkatkan kunjungan wisatawan dari 500 ribu orang/tahun menjadi 1 juta orang/tahun, dll.

APBD didesain sebagai modal untuk mencapai target yang dicanangkan dan berorientasi produktif dengan indikator peningkatan pencapaian yang jelas. Semua kegiatan dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) diarahkan untuk mencapai target daerah. Jika misalnya menaikkan produksi pertanian menjadi target dan fokus utama suatu daerah, anggaran SKPD Pekerjaan Umum di daerah tersebut diarahkan untuk membangun sarana/ prasana yang mendukung pertanian. Aggaran pada SKPD Pertanian diarahkan untuk mendapatkan bibit, penyuluhan pertanian, dan membangun sistem pertanian yang andal. SKPD-SKPD yang lain diarahkan untuk mendukung pencapaian target tersebut dan masing-masing memiliki KPI (key performance indicator) yang terukur.

Terhadap seluruh karyawan di daerah harus ditanamkan dan diubah pola pikir (mindset) mereka, bahwa anggaran belanja daerah adalah modal yang harus dikelola dan dikeluarkan untuk suatu kegiatan yang akan memberikan nilai tambah, atau penguatan terhadap program yang ditentukan, bukan sekadar biaya yang perlu dihabiskan. Seorang kepala daerah (CEO) harus mampu meyakinkan dengan menggunakan dan mengelola APBD yang baik dan benar, dan akan tercapai target yang dicanangkan berupa peningkatan PAD atau kesejahteraan rakyat seperti keuntungan di perusahaan.

Dengan peningkatan PAD, kepala daerah dapat memberikan insentif atau tunjangan kinerja yang nilainya cukup besar bahkan dapat beberapa kali lebih tinggi daripada pendapatan gaji. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pajak dan retribusi sebagai konsekuensi dari hasil pencapaian target daerah, juga dari dividen yang dihasilkan oleh BUMD (badan usaha milik daerah). BUMD dapat menjadi kendaraan strategis untuk meningkatkan penghasilan daerah. Sebagai konsekuensinya BUMD harus dikelola profesional, tidak dicampuri dengan kegiatan politis dan balas budi.

Masalah pengadaan

Sudah bukan rahasia lagi nilai pengadaan yang rata-rata berkisar 40%-45% dari APBN/APBD merupakan lahan atau pos dalam APBN/APBD yang digunakan banyak pihak untuk mendapakan penghasilan tambahan yang tidak halal. Hampir 44% kasus di KPK merupakan kasus rekayasa pengadaan, dan bisa dikatakan pengadaan menjadi kegiatan yang `ngeri-ngeri sedap'. Pengadaan sudah tidak berorientasi sebagai modal atau bagian pencapaian target daerah, tetapi menjadi pos untuk melewatkan komisi atau titipan yang akhirnya membuat pusing panitia pengadaan dalam merekayasa volume, unit cost, dan dokumen pengadaan lainnya.

Pengadaan saat ini dilakukan sangat transaksional. Banyak paket pengadaan direkayasa menjadi paket-paket kecil menghindarkan lelang, atau menjadi paket besar dan khusus sehingga tidak banyak peserta yang bisa mengikuti. Umumnya pengadaan sudah dikemas dari tahap perencanaan anggaran, perencanaan pengadaan, pelaksanaan, hingga penentuan pemenang. Biasanya pemenang dan harga sudah didesain. Walau dokumen terlihat rapi, pada akhirnya pengadaan tidak memenuhi tujuan pengadaan yang 5T (tepat kualitas, tepat kuantitas, tepat waktu, tepat sumber, dan tepat harga). Pengadaan pun akhirnya menjadi kegiatan mengada-ada.

Melihat problem dan tantangan tersebut pemerintah melakukan berbagai reformasi baik dari sisi regulasi, penyediaan infrastruktur e-procurement (e-tender, e-purchasing, dan e-catalog) sebagai alat bantu teknologi, maupun SDM. Reformasi ini mencoba mengembalikan pengadaan sehigga mencapai tujuan pengadaan yang 5T dan dilakukan dengan prinsip serta pedoman umum pengadaan. Pemerintah melalui LKPP dan IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia) mendorong pengadaan yang strategis ini. Untuk barang yang berspesifikasi standar, telah ada di pasar, dan telah terjadi kompetisi dapat dimasukan ke catalog dan pengadaan seterusnya tidak perlu dengan lelang.

Pengadaan yang strategis (strategic procurement) adalah pengadaan yang berorientasi untuk memenuhi rencana strategis daerah. Dengan pengadaan yang strategis dan kredibel akan dihasilkan barang/jasa untuk mencapai tujuan EG dengan lebih efisien. Paket pengadaan yang selama ini dipecah-pecah menjadi paket-paket kecil dikonsolidasi menjadi paket yang nilainya besar dan dapat di-e-catalog-kan. 

Untuk kebutuhan yang selama ini menjadi paket khusus dan hanya bisa diikuti oleh penyedia yang terbatas, justru dipecah menjadi paket-paket yang spesifikasinya standar dan penyedianya banyak agar terjadi kompetisi. Pengadaan berorientasi jangka panjang sebagai bagian utama dalam mewujudkan dan mencapai rencana strategis daerah.

Pengadaan dilakukan dengan alat bantu elektronik dan berorientasi procure to pay
pembayaran diusahakan dilakukan segera setelah barang/jasa telah diterima atau berita acara pekerjaan diselesaikan, sehingga menjadi suatu sistem yang kredibel.

Dalam kondisi reversal pengadaan strategis diharapkan mendorong kegiatan efi siensi pengelolaan anggaran untuk mencapai tujuan pengadaan serta target pencapaian dae rah yang direncanakan. Seorang CEO (kepala daerah) berusaha mendorong pengadaan barang/jasa seefisien mungkin untuk mendapatkan barang/jasa dengan kualitas tinggi dan harga kompetitif atau di bawah harga pasar. 

Pengadaan dilakukan untuk mendapatkan penyedia yang kompeten, bukan penyedia yang hanya memiliki dokumen pengadaan tetapi tidak memiliki peralatan, SDM maupun sistem pendukung dan pelayanan purnajual yang baik.

Laba tambahan yang menghasilkan dividen berupa kepuasan dan peningkatan 
kesejahteraan rakyat juga para pelaksana secara halal menjadikan para kepala daerah (CEO) yang berorientasi entrepreneur sebagai pribadi-pribadi yang didoakan dan akan dipilih kembali tanpa perlu biaya kampanye yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar