Senin, 17 Februari 2014

Pemilu Jangan “Dipermahal”

                        Pemilu Jangan “Dipermahal”

Chandra Feri Caniago  ;   Mantan Ketua Umum UKM PHP UNAND
HALUAN,  15 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Pelaksanaan Pemilu 2014 meru­pakan tang­gung­jawab pe­merintah, termasuk soal pem­­­biaya­annya. Tetapi, pe­merintah harus pandai pula untuk pilah-pilih dalam mem­buat kebijakan menge­luarkan dana APBN untuk mem­biayai pelaksanaan pemilu. Pada intinya, tidak semua yang berhubungan dengan kesuksesan pemilu harus dibiayai dengan dana publik.

Pemerintah tidak boleh terlalu bernafsu dalam me­manfaatkan APBN de­ngan alasan kepentingan sukses­nya pelaksanaan pemilu. Semuanya harus mempertimbangkan keten­tuan hu­kum yang ada serta rasa kepatutan. Anggaran Pemilu 2014 sekitar Rp16 triliun sudah sangat mahal. Jadi, jangan “dipermahal” lagi.

Fenomena ini kini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan dan menjadi polemik di tengah masyarakat. Peme­rintah berencana mengeluar­kan kebijakan terkait pem­berian honor saksi parpol pada Pemilu 2014. Polemik­nya adalah dana tersebut diambil dari APBN, yang nilainya sekitar Rp700 miliar.

Banyak kalangan tidak setuju dengan rencana ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dana saksi parpol yang bersumber dari APBN, rawan kecurangan. KPK mengingatkan agar ke­inginan menggunakan dana saksi parpol dari APBN diurungkan saja.

Selain itu Badan Pe­meriksa Keuangan (BPK) menyatakan sumber dana saksi parpol dari APBN rawan jadi permasalahan. Ini karena peng­anggaran ini tidak diren­canakan dengan baik, jadi tidak jelas penang­gungjawab tata kelolanya. Sampai saat ini pun belum jelas siapa yang akan mengelola dana tersebut. Bawaslu yang digadang-gadang mengelola dana tersebut sudah tegas menolaknya. Jika tidak jelas yang mengelola, rawan “sunyi senyap” dana tersebut.

Pro kontra juga terjadi di Senayan terkait perma­salahan ini. PDIP dan Nasdem adalah dua parpol yang menolak rencana pendanaan tersebut. Gerin­dra, Golkar, dan PBB masih bimbang terkait permasa­lahan ini. Sedangkan yang menyambut hangat adalah Demokrat, PKS, PPP, PAN, PKB, PKPI dan Hanura.

Permasalahan Hukum

Rencana pemerintah menggunakan dana APBN untuk membiayai sak­si parpol tidak didukung dasar hukum yang jelas. Dana saksi pemilu tidak masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kemen­terian Negara/Lembaga UU APBN 2014. Selain itu di dalam UU Parpol dan UU Pemilu tidak pula diatur tentang dana saksi parpol dibiayai  APBN. UU bersangkutan hanya me­ngatur adanya bantuan atau subsidi APBN untuk melak­sanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Jika tidak didukung oleh aturan hu­kum yang  jelas, maka peng­gunaan anggaran nega­ra tersebut jadi ilegal dan ber­potensi untuk disalah­gu­nakan. Satu rupiah saja uang yang keluar dari APBN harus ada dasar hu­kum­nya, supaya jelas per­tang­­gungjawabannya secara hukum.

Pemerintah berupaya memuluskan rencana peng­gunaan dana APBN untuk saksi parpol dengan mem­buat Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum. Jika Perpres itu jadi, maka dana tersebut akan diambil dari anggaran cadangan negara (rekening 99).

Permasalahannya ada­lah, kenapa wacana ini baru dimunculkan ketika mendekati pelaksanaan pemilu? Meskipun Perpres berhasil “diada-adakan” sebagai payung hukum keluarnya dana tersebut dari APBN, tetap saja akan ada perma­salahan hukum setelah itu. Ini karena anggaran yang dikeluarkan dari rekening 99 tidak sesuai dengan penganggaran yang teren­cana. Anggaran yang tidak terencana rawan untuk disalahgunakan.  Akhirnya dana publik yang keluar menjadi tidak jelas, dan terbuang sia-sia, atau akan menguntungkan pi­hak-pihak tertentu saja.

Dalam Pasal 3 UU Ke­uangan Negara disebutkan Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada pe­raturan perundang-und­a­ngan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertang­gung jawab dengan mem­perhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Lagi pula, Pre­siden sebagai pe­megang kewenangan terting­gi penge­lolaan ke­uangan Negara (Chief Finan­cial Officer) telah mewanti-wanti setiap ke­menterian atau lem­baga untuk mence­gah prak­tik kongkalingkong APBN 2013-2014 sebagai­ma­na Surat Edaran Seskab No SE-542/Seskab/IX/ 2012 mengenai pengawalan APBN.

Apabila pemerintah tetap memaksakan untuk meng­gunakan dana APBN untuk honor saksi parpol, tentunya itu bertentangan dengan ketentuan yang ada. Selain itu Presiden jadi tidak kon­sisten dengan  surat edaran yang telah dikeluar­kan melalui Seskab.

Pemilu memang mahal, akan tetapi masih banyak kepentingan lain yang membutuhkan anggaran dari APBN. Idealnya peme­rintah harus menda­hulukan dan mementingkan yang memang penting dan lang­sung menyentuh rak­yat. Bantuan bencana misalnya.

Urusan Parpol

Alasan pemerintah beren­cana membiayai saksi parpol de­ngan dana APBN, adalah untuk meminimalisir kecu­rangan dalam Pemilu 2014 dan negara bertang­gung­ja­wab untuk itu. Jika itu ala­sannya, maka sudah ada ja­wa­bannya. Pemerintah sudah punya Bawaslu untuk itu, dan anggarannya pun sudah jelas.

Bawaslu sudah mengu­sulkan untuk menem­patkan dua Mitra Pengawas Pe­milu Lapangan (Mitra PPL) untuk mengawasi pelaksa­naan pemilu. Tugas Bawas­lu untuk mencegah kecura­ngan pemilu yang menjadi tang­gungjawab pemerintah. Jadi, untuk apa lagi saksi parpol diurus-urus oleh pemerintah?

Saksi parpol, murni urusan “dapur” parpol yang bersangkutan. Adanya saksi parpol pada setiap tahapan Pemilu 2014, tugasnya hanya melindungi kepentingan parpol supaya tidak dicurangi.

Jadi, jika parpol takut dicurangi dan mau terlin­du­ngi kepentingannya, silahkan gunakan saksi de­ngan biaya sendiri. Lagi pu­la parpol tidak perlu terlalu takut akan dicu­rangi. Parpol ha­rus mem­per­cayai kinerja Bawaslu untuk melakukan pengawa­san pelaksanaan pemilu.

Penulis percaya bahwa semua parpol yang ikut serta Pe­milu 2014 sanggup meng­ha­dirkan saksi di setiap TPS de­ngan biaya sendiri mau­pun tanpa biaya “volunteer”. Par­p­ol bisa memanfaatkan ba­s­is massa dan konstituen yang ada. Hal seperti itu ra­sanya lebih baik bagi par­pol dan iklim demokrasi In­donesia.

Adanya parpol yang men­­­du­kung penggunaan dana APBN untuk honor saksi parpol, meng­in­di­kasikan bahwa mereka (parpol) telah gagal dalam ideologi, pengkaderan, dan finansial. Tidak seha­rusnya parpol berharap pada dana  publik, di tengah kondisi rakyat jelata yang semakin menyedihkan. Bukannya parpol ada untuk rakyat?

“Menghasilkan wakil rak­yat dan pemimpin lewat pe­milu yang murah ten­tunya lebih baik daripada pemilu ma­hal”. Jika murah lebih baik, kenapa harus mahal. Bu­kan begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar