Rabu, 19 Februari 2014

Religiositas Tan Malaka

Religiositas Tan Malaka

M Rasyid Ridha Saragih  ;   Asisten Peneliti pada Satjipto Rahardjo Institute
SUARA MERDEKA,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
PUBLIK Indonesia akhir-akhir ini tengah dikagetkan oleh serangkaian tindakan yang ingin meredam semangat kebebasan pascareformasi. Di Surabaya, ada anggota ormas menghentikan acara bedah buku karya Harry A Poeze, Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.

Semarang yang diperkirakan sebagai kota majemuk nan damai, ternyata serupa. Diskusi tentang Tan Malaka yang digelar Komunitas Gerobak Hysteria, yang hendak menghadirkan pembicara yang sama dengan kegiatan di Surabaya direspons secara negatif oleh sebuah ormas yang kemudian berusaha memengaruhi aparat kepolisian untuk tidak memberikan izin.

Semarang dalam konteks sejarah, merupakan salah satu pusat pergerakan kaum kiri di Indonesia. Pergerakan mereka berbalut corak religius, dan pada 1920-an gerakan yang berkembang di Semarang adalah Sarekat Islam-Merah.

”SI Semarang dan Onderwijs” (1921) adalah salah satu tulisan Tan yang bercerita bagaimana pendidikan seharusnya diberikan kepada anak-anak. Waktu itu Tan mengusulkan revisi program SI Semarang yang seharusnya menyentuh dimensi pendidikan, karena dimensi inilah yang justru ampuh untuk melawan ketidakadilan pada masa depan.

Sebagai kota pelabuhan dan perindustrian, Semarang kala itu terkenal dengan banyak buruh industrinya, namun anak-anak mudanya miskin pendidikan dan intelektualisme. Bagi Tan, yang dibutuhkan oleh anak-anak Semarang adalah pendidikan kerakyatan, yang secara singkat terbagi dalam tiga bagian utama konsep.

Pertama; ia haruslah mengajarkan tentang pendidikan keterampilan, sebagai dasar keilmuan dalam dunia pendidikan. Kedua; pendidikan pergaulan, yang oleh Tan disebut pendidikan kecakapan berorganisasi. Model itu akan menumbuhkan sikap demokratis pada diri anak-anak. Ketiga; pendidikan yang berorientasi ke bawah, yang selalu peka pada ketertindasan rakyat.

Walaupun Tan beberapa kali mengasingkan diri, menghindari kejaran pemerintah kolonial, ia tetap berpegang pada pendiriannya untuk menciptakan negara Indonesia merdeka. Tulisannya berjudul ”Naar de Republiek Indonesia” (1924) merupakan salah satu bukti awal perancangan konsep besar Republik Indonesia, lebih awal ketimbang Soempah Pemoeda 1928.

Program Kerja

Selain menyinggung situasi perpolitikan dunia, ia juga menggagas beberapa program kerja krusial demi mewujudkan Indonesia yang merdeka, seperti dalam bidang ekonomi, militer, politik, sosial, pendidikan, hingga rencana aksi.

”Naar de Republiek Indonesia” ditulis Tan ketika masih di pengasingan, dan Moh Yamin mengakui tulisan itu layaknya Jefferson Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai, atau Rizal Bonifacio meramalkan Filipina sebelum revolusi di negara itu pecah. Itu benar-benar rancangan strategis yang tidak setengah-setengah.

Tidak berhenti sampai di situ, rancangan Tan makin dipertajamkan oleh konsep yang paling penting bagi Indonesia, yakni masalah pola pikir. ”Materialisme dialektika logika” (1943) merupakan karya magnum opus-nya sangat dipengaruhi oleh arus filsafat rasional Barat, dan dibumbui kekentalan cara berpikir sains.

Salah satu yang diupayakan Tan melalui buku ini adalah mendobrak cara berpikir masyarakat Indonesia, yang kala itu, dan kemungkinan hingga kini, masih dipengaruhi cara mistik. Dia berupaya menjadikan Indonesia sebagai negara maju, dimulai dari pembaruan cara berpikir. Berpijak pada titik itu, ia meyakini Indonesia dapat memajukan aspek perkembangan sains dan teknologi.

Aspek Religiositas

Sebenarnya kita perlu mengoreksi ulang cap komunis yang terlanjur disematkan pada Tan mengingat sesungguhnya selepas 1926 ia sudah keluar dari lingkaran elite-elite komunis, baik internasional, maupun Partai Komunis Indonesia. Ia bahkan mendirikan Partai Republik Indonesia, yang makin menjadikannya dimusuhi oleh orang-orang PKI pada masa itu.

Komunisme yang oleh sebagian awam selalu diindentikkan ateisme sebenarnya tidaklah tepat, dan menjadi fatal jika dilekatkan pada Tan. Sebagai keturunan Minang yang religius, ia justru memegang teguh prinsip-prinsip agama.

Baginya, tidak ada pertentangan antara ajaran agama dan kehendak diri. Baginya, Islam adalah the way of life. Ketika ia menulis Islam dalam Tinjauan Madilog (1948), sebenarnya antara konsep pemikiran dalam Madilog dan semangat Islam adalah sama, bagaimana Islam menjunjung tinggi rasionalitas dan hukum alam (sunnatullah), namun menjunjung tinggi juga dimensi-dimensi pergerakan sosial, ekonomi, hingga politik.

Sebagaimana diakui Hamka dalam pengantar buku tersebut, Al Ustadz Tan Malaka menyebutkan bahwa Islam sejalan dan secorak dengan pergerakan sosial modern. Keteguhan  pendiriannya juga terlihat tahun 1920-an, ketika Tan menghadiri kongres komunis internasional.

Dia melontarkan pernyataan yang sama, yang berujung pada pengucilan dirinya oleh tokoh-tokoh komunis internasional.

Jadi, tidaklah tepat andai ada sekelompok orang ataupun ormas yang menuduhnya komunis-ateis atau PKI. Apalagi bila ada pihak hendak membubarkan diskusi yang membicarakan pemikiran-pemikiran Tan. Sesungguhnya tidak sesempit itu mengingat Tan adalah orang yang religius, rasionalis, dan nasionalis. 

Ketika di Semarang ada pembubaran diskusi mengenai pemikiran Tan, yang notabene kota majemuk, realitas itu justru akan mencoreng nama kota ini dalam sejarah. Selain itu, pelarangan tersebut secara eksplisit bertentangan dengan hukum, mengingat Pasal 28F UUD 1945 menyebut tiap orang berhak mendapatkan informasi, serta mendiskusikan, dan menyebarkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar